Sabtu, 21 April 2018

Cara Shalat Orang yang Tidak Hafal Al-Fatihah

Cara Shalat Orang yang Tidak Hafal Al-Fatihah (© alray.ps) Alhafiz, NU Online | Senin, 25 Desember 2017 18:04 Rukun shalat yang wajib ditunaikan setelah niat, takbiratul ihram, dan berdiri bagi yang mampu adalah membaca surat Al-Fatihah pada tiap rakaat. Dikarenakan Al-Fatihah rukun shalat, maka orang yang tidak membaca surat Al-Fatihah secara sengaja shalatnya tidak sah. Syekh Zainuddin Al-Malibari dalam Fathul Muin menjelaskan sebagai berikut: ورابعها قراءة فاتحة كل ركعة في قيامها لخبر الشيخين "لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب" أي في كل ركعة Artinya, “Rukun shalat keempat ialah membaca Al-Fatihah pada tiap rakaat shalat saat berdiri berdasarkan hadis riwayat Al-Bukhari-Muslim (Syaikhaini), ‘Tidak sah shalat orang yang tidak membaca al-Fatihah’, maksudnya pada tiap rakaat” (Lihat Zainuddin Al-Malibari, Fathul Mu’in, Jakarta, Darul Kutub Islamiyyah, 2009 halaman 38). Berdasarkan hadits itu, para ulama menghukumi tidak sah shalat orang yang tidak membaca Al-Fatihah. Pertanyaannya, bagaimana dengan shalat orang yang belum pandai membaca surat Al-Fatihah, misalnya orang yang baru masuk Islam, atau orang yang baru tobat sementara umurnya sudah tua dan sulit menghafal surat Al-Fatihah dengan sempurna. Seluruh ulama sepakat bahwa tidak ada toleransi shalat bagi setiap umat Islam. Maksudnya, bagi orang yang memenuhi persyaratan shalat harus mengerjakan shalat dalam kondisi apapun, termasuk orang yang tidak hafal surat Al-Fatihah. Bagi orang yang tidak hafal surat Al-Fatihah, Syekh Zainuddin Al-Malibari menjelaskan sebagai berikut: ومن جهل جميع الفاتحة ولم يمكنه تعلمها قبل ضيق الوقت ولا قراءة في نحو مصحف، لزمه قراءة سبع آيات ولو متفرقة لا ينقص حروفها عن حروف الفاتحة، وهي بالبسملة بالتشديدات مائة وستة وخمسون حرفا بإثبات ألف مالك. ولو قدر على بعض الفاتحة كرره ليبلغ قدرها وإن لم يقدر على بدل فسبعة أنواع من ذكر كذلك فوقوف بقدرها Artinya, “Orang yang tidak tahu (hafal) seluruh ayat dalam surat al-Fatihah dan tidak mungkin mempelajarinya sampai waktu shalat berakhir, dan tidak bisa pula membaca mushaf, wajib baginya untuk membaca tujuh ayat, meskipun berbeda-beda, dan jumlah hurufnya tidak kurang dari jumlah huruf surat Al-Fatihah. Jumlah huruf surat Al-Fatihah sekitar 156 beserta basmalah, tasydid, dan alif pada “مالك”. Kalau tidak mampu dibolehkan mengulang-ulang sebagian ayat dalam surat Al-Fatihah sampai durasinya sama. Kalau tidak mampu juga, dibolehkan menggantinya dengan tujuh macam zikir. Bagi yang tidak mampu juga wajib diam sesuai durasi waktu baca surat al-Fatihah,” (Lihat Zainuddin Al-Malibari, Fathul Mu’in, Jakarta, Darul Kutub Islamiyyah, 2009, halaman 39). Dari penjelasan di atas, orang yang tidak hafal shalat dibolehkan membaca surat Al-Fatihah dengan menggunakan mushaf Al-Quran. Kalau tidak pandai membaca Al-Quran dibolehkan membaca tujuh ayat yang jumlah hurufnya sama dengan Al-Fatihah, meskipun dari surat yang berbeda-beda. Bila tidak ada surat atau ayat lain yang dihafal dibolehkan membaca sebagian surat Al-Fatihah dan mengulang-ulanginya sesuai lama membaca surat Al-Fatihah. Kalau tidak hafal sama sekali surat Al-Fatihah dan ayat lain, dibolehkan membaca tujuh macam zikir, misalnya: سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم وما شاء الله كان وما لم يشأ لم يكن Subhanallâh wal hamdulillâh wa lâ ilâha illallâh wallâhu akbar wa lâ hawla wa lâ quwwata illâ billâhil ‘aliyyil ‘adzîm wa mâsyâ allâhu kâna wa mâ lam yasya’ lam yakun. Kalau tidak hafal dan mampu membaca zikir di atas dibolehkan diam sesuai dengan durasi membaca surat Al-Fatihah. Meskipun demikian, setiap umat Islam diwajibkan untuk terus belajar agar ibadahnya sempurna, terutama belajar membaca Al-Quran. Paling tidak surat Al-Fatihah hafal di luar kepala, minimal bisa membaca surat Al-Fatihah meskipun tidak hafal. Wallahu a’lam. (Hengki Ferdiansyah)

Cara Sedekah Orang Tidak Mampu

Cara Sedekah Orang Tidak Mampu Alhafiz, NU Online | Jumat, 16 Februari 2018 06:03 Sedekah amalan yang sangat dianjurkan dalam Islam. Selain pemberi sedekah mendapatkan pahala, barang yang disedekahkan pun akan bermanfaat bagi orang banyak. Sebenarnya, anjuran sedekah ditujukan bagi seluruh orang, baik yang miskin maupun kaya, yang susah maupun senang. Namun  dalam realitasnya, sebagian orang yang tidak mampu secara ekonomi agak susah mengeluarkan sedekah, apalagi dalam jumlah banyak. Kondisi ini juga pernah dialami sahabat Rasul. Mereka mengeluh kepada Rasulullah, betapa enaknya menjadi orang kaya. Ladang amalnya terbuka luas. Sedekah misalnya, bisa dilakukan terus-menerus bila orang tersebut memiliki uang banyak. Kemudian bagaimana dengan orang yang miskin? Keluhan sahabat itu direspon oleh Rasulullah dalam hadits riwayat Muslim. Hadits ini juga dinukil oleh Imam An-Nawawi dalam kitab Arba’in An-Nawawiyyah. Berikut bunyi haditsnya: أَنَّ نَاساً مِنْ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى  الله عليه وسلم قَالُوا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُوْلَ اللهِ، ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُوْرِ بِاْلأُجُوْرِ يُصَلُّوْنَ كَمَا نُصَلِّي، وَيَصُوْمُوْنَ كَمَا نَصُوْمُ، وَتَصَدَّقُوْنَ بِفُضُوْلِ أَمْوَالِهِمْ قَالَ : أَوَ لَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللهُ لَكُمْ مَا يَتَصَدَّقُوْنَ : إِنَّ لَكُمْ بِكُلِّ تَسْبِيْحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيْرَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَحْمِيْدَةٍ صَدَقَةً، وَكُلِّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةً وَأَمْرٍ بِالْمَعْرُوْفِ صَدَقَةً وَنَهْيٍ عَن مُنْكَرٍ صَدَقَةً وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةً قَالُوا  : يَا رَسُوْلَ اللهِ أَيَأْتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُوْنُ لَهُ فِيْهَا أَجْرٌ ؟ قَالَ : أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ وِزْرٌ ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ Artinya, “Sebagian sahabat Rasul pernah bertanya kepada Nabi SAW, ‘Wahai Rasulullah, orang-orang kaya pergi dengan pahala yang banyak. Mereka shalat seperti kami shalat, mereka juga puasa sebagaimana kami puasa, mereka juga bersedekah dengan kelebihan harta mereka (sementara kami tidak bisa melakukannya).’ Rasulullah berkata, ‘Bukankah Allah telah menjadikan bagi kalian jalan untuk bersedekah? Sesunggunya setiap tasbih adalah sedekah, setiap takbir sedekah, setiap tahmid sedekah, setiap tahlil sedekah, setiap amar makruf nahi munkar juga sedekah, bahkan kemaluan kalian sedekah.’ Sahabat bertanya, ‘Apakah berpahala bila kami menyalurkan syahwat?’ Rasulullah menjawab, ‘Bagaimana pendapat kalian bila hal itu disalurkan pada jalan yang haram, bukankah berdosa? Demikian pula bila disalurkan pada jalan halal, maka akan mendapatkan pahala,’” (HR Muslim). Dalam hadits ini Rasulullah menjelaskan ada banyak jalan untuk bersedekah. Sedekah tidak hanya dengan uang atau materi. Bagi orang miskin atau orang yang tidak mampu bersedekah seperti halnya orang kaya, rekomendasi Rasul di atas dapat diikuti. Berzikir dengan melafalkan tasbih (subhânallâh), tahmid (alhamdulillâh), takbir (allâhu akbar), dan tahlil (lâ ilâha illallâh) juga termasuk bagian dari sedekah. Sebab itu, kalau tidak mampu bersedekah dengan uang perbanyak membaca kalimat tersebut. Tidak hanya itu, berhubungan badan dengan istri juga dianggap sebagai sedekah asalkan diniatkan untuk ibadah. Terkait hal ini, Ibnu Daqiqil ‘Id dalam Syarah Arba’in An-Nawawiyyah menjelaskan: فالجماع يكون عبادة إذا نوى به الإنسان قضاء حق الزوجة  ومعاشرتها بالمعروف أو طلب ولد صالح أو اعفاف نفسه أو زوجته أو غير ذلك من المقاصد الصالحة artinya, “Hubungan badan suami istri termasuk ibadah bila diniatkan memenuhi hak pasangan, bergaul dengan cara baik, melahirkan keturunan saleh, menjaga diri sendiri dan pasangan dari perbuatan yang tidak baik, dan tujuan baik lainnya.” Dengan demikian, orang yang belum mampu secara finansial tidak perlu sedih bila tidak mampu bersedekah. Kalau mau bersedekah dengan uang atau materi yang dimiliki tentu lebih baik. Tetapi kalau pun tidak mampu, tidak usah dipaksakan karena jalan sedekah sangatlah banyak, sebagaimana dijelaskan dalam hadits di atas. Wallahu a’lam. (Hengki Ferdiansyah)

Anjuran Doa Panjang Umur Selama Bulan Rajab dan Sya'ban

Anjuran Doa Panjang Umur Selama Bulan Rajab dan Sya'ban Alhafiz, NU Online | Selasa, 20 Maret 2018 13:30 Ketika masuk Bulan Rajab, umat Islam dianjurkan untuk memohon keberkahan hidup kepada Allah SWT. Mereka dianjurkan untuk memohon doa panjang umur selama bulan Rajab agar dapat mengalami bulan mulia Sya‘ban dan Ramadhan. Adapun lafal doa yang lazim dibaca adalah sebagai berikut: اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ رَجَبَ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ Allâhumma bârik lanâ fî Rajaba wa Sya‘bâna wa ballighnâ Ramadhânâ Artinya, “Ya Allah, berkatilah kami pada Bulan Rajab dan Bulan Sya’ban. Sampaikan kami dengan Bulan Ramadhan.” Doa panjang umur itu juga dicontohkan oleh Rasulullah SAW sebagaimana riwayat hadits berikut: كان إذا دخل رجب قال اللهم بارك لنا في رجب وشعبان وبلغنا رمضان Artinya, “Jika masuk bulan Rajab, Rasulullah berdoa, ‘Ya Allah, berkatilah kami pada Bulan Rajab dan Sya‘ban. Sampaikan kami ke Bulan Ramadhan.’” Syekh Ibnu Rajab menyimpulkan bahwa riwayat ini menganjurkan umat Islam untuk memohon panjang umur dengan niat untuk menambah kebaikan dan beramal saleh di masa mendatang. Pandangan Ibnu Rajab ini dikutip oleh Syekh Abdur Rauf Al-Munawi ketika mensyarahkan kumpulan hadits Jami‘us Shaghir berikut ini: قال ابن رجب: فيه أن دليل ندب الدعاء بالبقاء إلى الأزمان الفاضلة لإدراك الأعمال الصالحة فيها فإن المؤمن لا يزيده عمره إلا خيرا. Artinya, “Syekh Ibnu Rajab mengatakan, pada hadits ini terdapat dalil anjuran doa panjang umur hingga waktu-waktu utama (Ramadhan) agar dapat melakukan amal saleh di waktu-waktu tersebut. Pasalnya, tidak bertambah usia orang beriman melainkan bertambah kebaikannya,” (Lihat Abdur Rauf Al-Munawi, Faidhul Qadir bi Syarhi Jami‘is Shaghir, [Beirut, Darul Makrifah, 1972 M/1391 H], cetakan kedua, juz V, halaman 131). Dari keterangan ini kita dapat menyimpulkan bahwa niat dan itikad baik patut menjadi perhatian bagi kita dalam memohon panjang umur, yaitu niat beramal saleh dan memperbaiki diri untuk mengisi umur yang tersisa. Wallahu a‘lam. (Alhafiz K)

Keutamaan Membaca Ayat dan Surat Tertentu Pada Waktu Tertentu

Keutamaan Membaca Ayat dan Surat Tertentu Pada Waktu Tertentu Faizin, NU Online | Selasa, 27 Maret 2018 23:00 Eksistensi Al Qur'an di tengah-tengah umat Islam telah menginspirasi banyak ulama di berbagai lintasan zaman untuk melakukan kajian terhadap Al Qur'an dari berbagai aspek dengan menggunakan beragam metode. Kemukjizatan Al Qur'an pun tidak hanya diakui oleh umat Islam saja, akan tetapi juga dari kalangan non-Muslim seperti halnya para orientalis. Umat islam juga telah sepakat bahwa setiap bagian dari Al Qur'an memiliki keistimewaan dan keutamaan tersendiri. Oleh karena itu, dalam kehidupan sehari-hari terdapat beberapa surat atau ayat yang diutamakan untuk dibaca pada waktu-waktu tertentu. Fenomena seperti ini ternyata telah diuraikan oleh seorang ulama yang hidup di abad pertengahan yaitu Imam Muhyiddin Abu Zakaria Yahya Ibnu Syarafudiin al Nawawi al Dimasyqi atau yang masyhur dengan sebutan Imam Nawawi dalam kitabnya Al Tibyan fi Adabi Hamalat Al Qur'an. Di dalam kitab tersebut terdapat satu bab yang berjudul Al-ayat wa al-suwar al-mustahabbah fi auqatin makhsushatin, sebuah bab yang menjelaskan tentang surat-surat atau ayat-ayat yang dianjurkan untuk membacanya pada waktu-waktu tertentu. Imam Nawawi mengawali penjelasannya dengan mengatakan bahwa sebenarnya tema fadhoil al-suwar merupakan tema yang pembahasannya cukup luas. Oleh karena itu, dalam bukunya tersebut, beliau hanya menjelaskan sebagian besar saja dan menggunakan ungkapan-ungkapan yang diringkas, karena sebagian keutamaan tersebut telah diketahui oleh orang-orang awam sehingga menjadi sebuah amalan rutinitas. Seperti halnya keutamaan membaca Al Qur'an di bulan Ramadhan, terutama dalam sepuluh hari terakhir dan di malam-malam yang  ganjil atau pada saat sepuluh hari pertama  di bulan Dzulhijjah. Tak lupa, Imam An Nawawi juga menjelaskan keutamaan membaca beberapa surat pilihan, di antaranya adalah Surat Yasin, Surat Al-Waqi’ah, Surat Al-Mulk, dan Surat Al-Kahfi. Imam An Nawawi kemudian menjelaskan secara rinci mengenai surat-surat yang dianjurkan untuk dibaca di setiap sholat. Diantaranya adalah pertama, ketika melaksanakan shalat Subuh di hari Jumat disunahkan membaca surat alif lam mim tanzil (surat As Sajadah) pada rakaat yang pertama dan pada rakaat yang kedua membaca surat Al Insaan. Kedua surat tersebut hendaklah dibaca secara keseluruhan dari awal hingga akhir surat. Tidak dianjurkan membaca sebagian ayatnya, dengan mengambil bagian awal, tengah ataupun akhirnya saja, seperti halnya dilakukan oleh kebanyakan imam di beberapa masjid. Kedua, disunnahkan juga saat sholat Jum’at membaca surat Al Jumu’ah pada rakaat yang pertama dan surat Al Munafiquun pada rakaat kedua. Selain itu, disunnahkan juga membaca surat Al A’laa pada rakaat pertama dan membaca Surat  Al Ghaasyiyah pada rakaat kedua. Keduanya adalah riwayat yang sahih dari Rasulullah SAW. Ketiga, dianjurkan ketika melaksanakan Shalat ‘Ied membaca Surat Qaaf pada rakaat pertama dan membaca surat Iqtarabatis Saa’atu (Surat Al Qamar) pada rakaat kedua. Selain itu, dianjurkan juga membaca surat Al A’laa dan Al Ghaasyiyah. Kedua riwayat itu sahih dari Rasulullah SAW. Keempat, pada saat melakukan shalat sunnah fajar (Qabliyah Subuh) dianjurkan membaca Surat Al Kafirun pada rakaat yang pertama dan Surat Al Ikhlas pada rakaat kedua. Boleh juga pada rakaat pertama membaca surat Al Baqarah ayat 136 dan pada rakaat kedua membaca surat  Ali Imran ayat 64. Keduanya sahih dari perbuatan Rasulullah SAW. Kelima, dalam rakaat pertama, sholat sunah Maghrib membaca Surat Al Kafirun dan rakaat kedua Surat Al Ikhlas. Dan keduanya juga dibaca dalam dua rakaat shalat sunnah thawaf dan dua rakaat shalat sunnah istikharah. Keenam, dalam sholat witir tiga rakaat, rakaat pertama membaca surat Al-A’la dan rakaat kedua membaca surat Al Kafirun serta rakaat ketiga membaca Surat Al Ikhlas dan dan Surat Al Mu’awwidzatain. Kemudian Imam An Nawawi menjelaskan tentang surat-surat yang disunnahkan untuk dibaca di hari-hari atau di waktu-waktu tertentu. Pertama, disunahkan membaca surat Al Kahfi pada hari Jumat berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Said Al Khudri dan beberapa sahabat lainnya. Imam Asy Syafi’i berkata dalam kitab Al Umm, disunahkan juga membacanya pada malam Jumat. Dalil ini diriwayatkan oleh Abu Muhammad Ad Daarimi dengan isnadnya dari Abu Said Al Khudri, ia berkata: “Barangsiapa membaca surat Al Kahfi pada malam Jumat, dia diterangi cahaya antara rumahnya dan Al Baitul Atiq (Ka’bah)”.  Ad Daarimi juga menyebut suatu hadits  yang menganjurkan membaca Surat Huud pada hari Jumat. Diriwayatkan dari Makhul seorang tabi’in yang mulia, bahwa sunah membaca Surat Ali Imran pada hari Jumaat. ,Kedua, disunahkan memperbanyak membaca Ayat Kursi di semua tempat dan membacanya setiap malam ketika hendak tidur dan membaca Al Mu’awwidzatain (Surat Al-Falaq dan An-Nas) setiap selesai sholat.  Diriwayatkan dari Uqbah bin Amir, ia berkata  “Rasulullah saw menyuruhku membaca Al Mu’awwidzatain setiap selesai sembahyang”. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i Tirmidzi berkata hadits hasan sahih. Ketiga, disunahkan ketika akan tidur membaca ayat Kursi, surat Al Ikhlas,surat Al Mu’awwidzatain dan akhir surat Al Baqarah. Ini amalan yang perlu diperhatikan sebagaimana diriwayatkan berkenaan dengannya menerusi hadits-hadits sahih dari Abu Mas’ud Al Badri bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa membaca dua ayat terakhir dari surat Al Baqarah dalam suatu alam maka kedua ayat itu mencakupinya (melindungi)nya”. Beberapa ulama mengatakan, maksudnya mencukupinya dari sembahyang malam. Para ulama lainnya  berkata: yaitu melindunginya dari gangguan pada malam tersebut. Adapun hadits yang meriwayatkan hal tersebut sepert diriwayatkan dari Aisyah:  “Bahwa Nabi saw setiap malam membaca Qul huwallahtu  Ahad dan Al-Mu’awwidzatain”. Diriwayatkan dari Ali, ia berkata: “Saya belum pernah melihat seorang berakal yang masuk Islam tidur sebelum membaca ayat Kursi”. Di riwayatkan juga dari Ali, katanya: “Saya belum pernah melihat orang yang berakal tidur sebelum membaca tiga ayat terakhir dari surat Al Baqarah”. Isnadnya sahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim. Diriwayatkan dari Uqbah bin Amir, ia berkata: Rasulullah SAW berkata kepadaku: “Janganlah engkau biarkan malam berlalu, kecuali engkau membaca di dalamnya Qul huwallaahu Ahad dan Al-Mu’awwidzatain. Maka tidaklah tiba suatu malam kepada kita kecuali membacanya”. Diriwayatkan dari Ibrahim An Nakha’i, ia berkata: “Mereka menganjurkan agar membaca surat-surat ini setiap malam tiga kali, yaitu Qul Huwallaahu Ahad dan Al-Mu’awwidzatain". Isnadnya sahih berdasarkan syarat Muslim. Diriwayatkan dari Ibrahim pula, mereka mengajari orang-orang apabila hendak tidur membaca Al-Mu’awwidzatain. Diriwayatkan dari Aisyah: “Nabi saw tidak tidur hingga membaca surat Az-Zumar dan Bani Israil”. Riwayat Tirmdizi dan dia berkata hadits ini hasan. Keempat, Jika bangun setiap malam, disunahkan membaca akhir Surat Al Imran dimulai dari ayat 190 berdasarkan riwayat yang terdapat di dalam Shahihain. Lebih lanjut Imam An-Nawawi juga memberikan uraian tentang ayat-ayat yang dibacakan untuk orang sakit diantaranya pertama, disunahkan membaca Al Fatihah di samping orang sakit berdasarkan sabda Nabi SAW dalam hadits sahih berkenaan dengan perkara tersebut: “Dari mana engkau tahu bahwa Al Fatihah adalah ruqtah (sejenis obat dan mantera)?”. Kedua, disunahkan membaca surat Al Iklas, Al Falaq, dan An Nas untuk orang sakit dengan meniup pada kedua telapak tangan. Hal ini diriwayatkan dalam Shahihain dari perbuatan Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan dari Thalhah bin Mutharif, katanya: “Jika Al Qur'an dibaca di dekat orang sakit, dia merasa lebih  ringan. Pada suatu hari aku memasuki khemah seseorang yang sedang sakit”. Aku berkata: “Aku melihatmu hari ini dalam keadaan baik”. Dia berkata: “Telah dibacakan Al Qur'an di dekatku”. Ketiga, diriwayatkan oleh Al-Khatib Abu Bakar Al-Baghdadi dengan isnadnya, bahwa Ar Ramadi ketika menderita sakit, katanya: "Bacakan hadits kepadaku. Ini baru hadits, apalagi Al Qur'an". Keempat, tentang apa yang dibacakan di dekat mayat. Para ulama dan sahabat berkata, sunah membaca surat Yasin di dekatnya berdasarkan hadits Ma’qil bin Yasar bahwa Nabi SAW bersabda: “Bacakanlah surat Yasin untuk mayatmu”. Hadits riwayat Abu dawud dan Nasa’i dalam Amalul Yaum wal Lailah dan Ibnu Majah dengan isnad dha’if. (Muhammad Nur Hayid)

KH Hasyim Asy'ari tentang Saling Bermusuhan atas Nama Agama

KH Hasyim Asy’ari tentang Saling Bermusuhan atas Nama Agama Khoiron, NU Online | Jumat, 09 Maret 2018 21:00 Semakin hari, sebagian masyarakat Indonesia hanyut terbawa arus perbedaan pendapat yang semakin meruncing. Padahal, jika mau jernih serta proporsional memandangnya, kita tidak akan terseret ke dalam kubangan jurang permusuhan antarsesama anak bangsa.  Perbedaan pendapat cabang keagamaan merupakan sebuah keniscayaan. Para sahabat yang masuk kurun umat terbaik juga mengalami perbedaan pandangan. Secara sosial, mereka tidak ada masalah. Mereka tak lantas saling mencaci atau menjatuhkan. Imam Abu Hanifah dengan Imam Malik berbeda pendapat pada kisaran 14 ribu masalah. Imam Ahmad bin Hanbal berbeda pendapat dengan gurunya Imam Syafi’i terjadi pada banyak masalah. Tidak ada yang saling nyinyir dan menghujat. Masing-masing mengasihi dan menghormati.  Bahkan, dalam satu riwayat dikatakan, Imam Syafi’i ketika menziarahi Imam Abu Hanifah, menginap selama 7 hari, selalu membaca Al-Qur’an. Setiap kali khatam, pahalanya dihadiahkan kepada Imam Abu Hanifah. Selain itu, Imam Syafi’i juga tidak berkenan melaksanakan qunut subuh selama di qubah (dekat makam) Abu Hanifah tersebut.   Ketika ditanya salah satu muridnya, mengapa demikian? Imam Syafi’i menjawab “Sesungguhnya Imam Abu Hanifah tidak berpendapat bahwa qunut subuh itu sunah. Aku tinggkalkan demikian karena aku menjaga adab kepada Beliau” (Baca: Belajar Toleransi dari Imam Syafi’i saat Ziarahi Makam Abu Hanifah) Mengumumkan kalimat “saya tidak cocok dengan orang ini, saya tidak sepakat dengan orang itu” lalu menjadikan ajang permusuhan, bukanlah sikap warga NU yang dicontohkan KH Hasyim Asy’ari.  Menelisik sedikit lebih mendalam tentang hajr yakni memusuhi sesama muslim dengan cara tidak menyapa, dalam kitab At Tibyan, fin nahyi an muqatha’atil arham wal aqarib wal ikhwan, KH Hasyim Asy’ari--mengutip pendapat Ibnu Hajar--menyatakan bahwa memusuhi atau tidak mau menyapa sesama Muslim lebih dari tiga hari merupakan dosa besar. Karena terdapat unsur memutus tali persaudaraan, menyakiti hati sesama dan menimbulkan kerusakan.  Memusuhi sesama Muslim hukumnya haram kecuali untuk kemaslahatan orang yang memusuhi serta kebaikan bagi orang yang dimusuhi. Jika tidak dalam rangka tersebut, hukumnya tetap haram.  Orang-orang yang terkena propaganda hajr ini terkadang menggunakan senjata tersebut untuk memusuhi siapa saja dengan misi yang tidak tepat.  KH Hasyim Asy’ari mengatakan, konteks zaman now, orang yang memusuhi temannya bukanlah untuk alasan kebaikan agama maupun kemaslahatan dunia. Tapi justru menimbulkan kerusakan antara mereka berdua yang berdampak dosa besar.    قلت (اي المؤلف العلامة الشيخ محمد هاشم اشعرى عفا الله عنه وعن والديه وعن مشايخه وجميع المسلمين): وقد رأيت بعيني ان الهجر الواقع بيننا فى هذا الزمان لا يعود الى صلاح دين الهاجر ولا المهجور ولا الى دنياهما، بل يعود الى فسادهما كما لا يخفى على المتأمل المنصف، فهو من الكبائر لما فيه من فساد الدين والدنيا والتحاسد والتباغض. والله اعلم.  Artinya : Saya katakan (maksud yang mengatakan di sini adalah pengarang kitab, Muhammad Hasyim Asy’ari, semoga Allah mengampuninya beserta kedua orang tuanya, guru-gurunya dan orang Islam semuanya) “Saya amati dengan dua mata kepala saya, sesungguhnya permusuhan, tidak menyapa antar sesama yang terjadi di tengah-tengah kita sekarang ini, bukan kembali untuk kebaikan agama orang yang memusuhi dan dimusuhi. Juga tidak dalam rangka untuk kemaslahatan kepentingan duniawi meraka. Namun permusuhan tersebut malah menimbulkan kerusakan yang kembali pada mereka berdua sebagaimana yang tidak samar bagi orang yang merenung dan insaf. Itu merupakan tindakan dosa besar sebab mengakibatkan kerusakan agama, dunia dan menjadikan saling dengki serta permusuhan. Wallahu ‘alam. (Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari, at-Tibyan fin Nahyi an Muqatha’atil Arham wal Aqarib wal Ikhwan, Jombang, al-Maktabah al-Masruriyah, halaman 11-12) Lalu, dalam bentuk apa orang yang hanya mendiamkan, tidak menyapa  saja kemudian mendapatkan dosa? Menurut KH Hasyim Asy’ari mengutip perkataan Ibnu Hajar dalam kitab Az Zawajir, yaitu semua kebaikan-kebaikan yang sudah rutin dijalankan baik berupa materi, surat-menyurat, saling kunjung dan lain sebagainya kemudian putus secara tiba-tiba tanpa ada alasan syar’iy, itulah tindakan dosa besar. (Ahmad Mundzir)

Kamis, 26 Mei 2016

Desir Hati: JANGAN GALAU, ALLAH BERSAMA KITA

Desir Hati: JANGAN GALAU, ALLAH BERSAMA KITA: Saat hati dilanda kegelisahan,  Allah-lah sebaik-baik tempat mengadu Saat diri ditimpa kesulitan, Allah-lah sebaik-baik tempat meminta pe...